kembang api

Jumat, 09 November 2012

Bulan Muharram, Antara Sunnah dan Bid'ah..!

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala, kami memuji-Nya, mohon pertolongan-Nya dan minta ampunan-Nya, kamipun berlindung kepada-Nya dari kejelekan diri dan keburukan amal kami.

Barangsiapa yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan petunjuk kepadanya, niscaya tak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang telah Allah Subhaanahu wa Ta’ala sesatkan, niscaya tak akan ada seorangpun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.

Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya. Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Selanjutnya, pada dasarnya adanya pergantian malam dan siang, bulan serta tahun terdapat hikmah dan pelajaran yang agung bagi setiap orang yang mau berfikir. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya:
”Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. an-Nur: 44)

Oleh karenanya sudah merupakan keharusan bagi setiap muslim agar dia senantiasa interopeksi diri setiap saat dan setiap waktu sehingga dia tetap bisa istiqamah dan terjaga dalam beragama atas dasar pemahaman yang benar dan lurus dan tidak salah sangka terhadap dirinya dengan mengganggap telah berbuat sebaik-baiknya padahal tidak demikian. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya. “ (QS al-Kahfi: 104).

Demikian halnya, manakala datang tahun baru hijriyah, yaitu bulan al-Muharram, pada bulan ini kita telah berpisah dengan tahun sebelumnya dan akan menyambut tahun yang akan datang, tahun yang baru, maka apakah yang telah kita tinggalkan dari sekian amal perbuatan untuk tahun kemarin? Dan dengan apa kita akan menyambut tahun yang baru ini?? Apakah bulan ini memiliki keistimewaan dan keutamaan tersendiri? apakah ada amalan yang harus dilakukan oleh setiap muslim pada bulan tersebut sebagai upaya untuk menghidupkan as-Sunnah dan upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang mengajak kepada tujuan agama.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengajak kepada suatu petunjuk maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari pahala mereka.” (HR. Muslim)

Keutamaan Bulan Muharram
Pada asalnya hari dan bulan memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala, kecuali yang diistimewakan dari hari dan bulan selainnya berdarkan dalil baik dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dan termasuk bulan yang mulia di antara bulan-bulan yang ada adalah bulan Muharram. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. at-Taubah: 36)

Dan di dalam hadits yang shahih Rasulullah bersabda: “……….Di adalam satu tahun ada dua belas bulan dan di antaranya terdapat empat bulan yang mulia, tiga di antaranya berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari, no. 2958 dari Abu Bakrah).

Dari ayat dan hadits di atas telah menunjukkan kemuliaan bulan tersebut di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan menemaan Muharram merupakan penguat atas keutamaan yang terkandung di dalamnya.

Dan di antara keutamaan yang terkandung di bulan Muharram adalah sebagai berikut:
  • Dosa yang dilakukan pada bulan-bulan yang dimulyakan tersebut lebih dahsyat dari bulan-bulan selainnya. Dan begitu juga sebaliknya bahwa pahala amal shalih begitu besar dibandingkan bulan-bulan lainnya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Janganlah kalian mendzalimi diri-diri kalian di dalamnya -bulan-bulan tersebut-(QS. at-Taubah: 36)
    Berkata Ibnu Katsir: “Di bulan-bulan yang Allah tetapkan di dalam setahun kemudian Allah khususkan dari bulan-bulan tersebut empat bulan, yang Allah menjadikan sebagai bulan-bulan yang mulia dan mengagungkan kemulyaaannya, dan menetapkan perbuatan dosa di dalamnya sangat besar, begitu pula dengan amal shalih pahalanya begitu besar.”
  • Disunnahkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram, khususnya berpuasa pada tanggal 10 Muharram (puasa ‘Asyura).
    Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram.” (HR. Muslim) dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, “Puasa ‘Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).
    Ibnu Abbas berkata. “Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari yang lain kecuali hari ini, yaitu ‘Asyura.” (Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).
  • Pada hari 'Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa 'alaihis salam dan kaumnya dari kerajaan Fir'aun, sehingga nabi Musa berpuasa sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Ta'ala.Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas, dia berkata; "Ketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam datang di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari 'Asyura, kemudian beliau bertanya: "Hai apa ini?" mereka menjawab: "Ini adalah hari yang baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka berpuasalah nabi Musa 'alaihis salam". Beliau bersabda: "Aku lebih berhak terhadap musa daripada kalian, kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan -para shahabat- agar berpuasa pada hari itu."

Amalan Yang Dianjurkan

Bertolak dari keutamaan yang terkandung di dalam bulan Muharram, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kaum Muslimin dalam menyambut bulan yang mulia ini.

Dan diantara amalan yang dianjurkan dalam bulan Muharram adalah sebagai berikut:
  • Tidak berbuat zhalim pada bulan ini, baik yang kecil maupun yang besar.
    Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “…maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu.”(QS. at-Taubah: 36)
    Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian terhadap kezhaliman, karena sesungguhnya kezhaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim dan lainnya)
    Dalam hadits yang lain beliau bersabda, “Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya dari pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kezhaliman) dan memutus silaturrahim.” (ash-Shahihah, no. 915)
  • Berpuasa ‘Asyura.
    Puasa pada hari 'Asyura sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum diutusnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah, "Sesungguhnya orang-orang jahiliyah dahulu berpuasa pada hari itu." al-Qurthubi berkata, "Kemungkinan kaum Quraisy menyandarkan amalan puasa mereka kepada syari'at orang-orang sebelum mereka, seperti syari'at Nabi Ibrahim.

    Demikian pula saat di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah, beliau Shallallohu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari tersebut. Dan ketika beliau hijrah ke Madinah dan mendapati orang-orang Yahudi merayakannya beliaupun bertanya kepada mereka tentang sebabnya, kemudian mereka menjawab sebagaimana yang tersebut di dalam hadits, "Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka berpuasalah Musa 'alaihis salam." (HR. al-Bukhari, no. 1865.

    Oleh karenanya beliau memerintahkan para sahabat untuk menyelisihi mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari, bahwa Nabi bersabda, ".......Berpuasalah kalian pada hari tersebut."(HR. al-Bukhari dan Muslim)

    Diperintahkannya puasa ‘Asyura karena didalamnya terkandung sekian keutamaan, sebagaimana yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram." (HR. Muslim, no. 1982)

    Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa beliau ditanya tentang puasa di hari 'Asyura, maka beliau menjawab, "Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin." (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Baihaqi dan Abdur Razaq)

    Imam an-Nawawiy berkata, “Puasa hari ‘Asyura dapat menghapuskan seluruh dosa-dosa kecil selain dosa-dosa besar dan sebagai kafarrah dosa satu tahun.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz. 6)
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dihapuskan dosa-dosa dengan thaharah, shalat, puasa di bulan Ramadhan, puasa hari ‘Arafah, dan puasa hari ‘Asyura, semuanya untuk dosa-dosa yang kecil.”(Lihat. Al-Fatawa al-Kubra, juz. 5)
    Ibnu Abbas berkata, "Tidak pernah aku melihat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam begitu bersemangat perpuasa di hari yang beliau utamakan dibandingkan hari yang lain kecuali hari ini, yakni hari 'Asyura, dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan." (HR. al-Bukhari, no. 1867)
  • Disukai puasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan Tasu’a (9 Muharram) untuk menyelisi orang-orang Yahudi dan Nashrani.
    Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka Rasulullah bersabda, “Maka apabila datang tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari ke sembilan.” Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah datang tahun berikutnya sampai Rasulullah wafat.”(HR. Muslim, no. 1916)

Berkaitan dengan puasa 'Asyura secara khusus, maka ada beberapa cara dalam pelaksanaannya, di antaranya:

1. Berpuasa selama tiga hari, 9, 10 dan 11 Muharram.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan sehari setelahnya."
Ibnu Hajar di dalam Fath al-Baari, 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut adalah Imam asy-Syaukani (Nail al-Authar, 4/245)

Namun maryolitas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni dari pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Maryolitas hadits menunjukkan cara seperti ini, sebagaimana yang telah tersampaikan di atas.

3. Berpuasa dua hari, yaitu pada tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum atau sehari setelahnya." (Hadits shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma'tsurah, asy-Syafi'i, no. 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar, 1/218).

Ibnu Rajab berkata, "Dalam sebagian riwayat disebutkan "atau sesudahnya", maka kata "atau" di sini mungkin merupakan keraguan rawi atau memang menunjukkan kebolehan..."(Lihat, Lathaiful Ma'arif, hal. 49)

ar-Rafi' berkata, "Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram." (Lihat, at-Talhish al-Habir, 2/213)

4. Berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja.
al-Hafidz berkata, " Puasa 'Asyura mempunyai tiga tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan di atasnya ditambah puasa tanggal 9 dan tingkatan berikutnya ditambah puasa tanggal 9 dan 11 Muharram. Wallahu a'lam.

Perkara Yang menyelisihi as-Sunnah

Adapun amalan-amalan yang menyelisihi as-Sunnah dan banyak dilakukan oleh kaum Muslimin dalam rangka menghormati dan memuliayakan bulan Muharram sangatlah banyak dan beragam. Dan berikut akan kami sebutkan dengan maksud kita dapat berhati-hati sehingga tidak terjerumus kepada amalan ibadah yang sia-sia dikarenakan tidak didasarkan kepada dalil yang kuat dan contoh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat beliau.

A. 'Asyura Menurut Syi'ah
Tanggal 10 Muharram 61 H, adalah hari terbunuhnya Abu Abdillah al-Husain bin Ali di padang Karbala.

Syi'ah menjadikan hari 'Asyura sebagai hari bergabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan kesedihan dan penyesalan. Pada hari itu mereka memperingati kematian al-Husen dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi al-Husen secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. (at-Tasyayyu' wasy Syi'ah, Ahmad al-Kisrawiy asy-Syi'iy, hal. 141. Tahqiq Dr. Nasyir al-Qifariy)

B. 'Asyura Menurut Maryolitas Kaum Muslimin.
Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, kebanyakan kaum Muslimin menjadikan hari 'Asyura sebagai hari raya, pesta dan serba ria.

Dan di antara amalan-amalan yang menyelisihi sunnah yang dilakukan oleh mereka adalah:
  • Shalat dan dzikir-dzikir khusus, yang disebut dengan shalat ‘Asyura.Mereka beralasan dengan hadits palsu, seperti yang disebutkan oleh as-Suyuthi di dalam al-La'ali al-Mashnu'ah. (as-Sunan wal Mubtada'at, hal. 134)
  • Mandi Janabah, bercelak, memakai minyak rambut dan mewarnai kuku dan menyemir rambut. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.Mereka beralasan dengan hadits palsu, "Barangsiapa yang memakai celak pada hari 'Asyura, maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu. Dan barangsiapa mandi pada hari 'Asyura, ia tidak akan sakit selama tahun itu." (Hadits ini palsu menurut as-Sakhawi, Mula Ali Qari dan al-Hakim, lihat al-Ibda', hal. 150-151)
  • Membuat makanan khusus/istimewa, seperti membuat bubur syura yang terdapat di Sumatera Barat.
  • Do’a awal dan akhir tahun yang di baca pada malam akhir tahun. Mereka beranggapan dan berkeyakinan bahwa siapa yang membaca do'a 'Asyura tidak akan meninggal pada tahun tersebut. (as-Sunan wal Mubtada'at, Muhammad asy-Syukairi, hal. 134)
  • Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.
  • Memberikan uang belanja yang lebih kepada keluarga. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.Mereka beralasan dengan hadits lemah, "Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari 'Asyura, maka Allah akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu." (HR. ath-Thabrani, al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Bar)
  • Setelah mandi janabat berziarah ke makam orang alim, menengok orang sakit, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali. Karena perbuatan tersebut di atas diperintahkan oleh syari’at setiap saat, dan adapun mengususkannya pada hari 10 Muharram tidak berdasar sama sekali.

C. 'Asyura Menurut Tradisi dan Kultur Kejawen
Bulan Suro menurut istilah mereka, banyak diwarnai orang Jawa dengan berbagai mitos dan khurafat, antara lain: Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh di buat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan, dan jenis hajatan yang lainnya.

Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh mereka di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi'ah animesme, dinamisme dan Arab Jahiliyah. Dulu, orang Quraisy Jahiliyah pada setiap 'Asyura selalu mengganti Kiswah Ka'bah (kain pembungkus Ka'bah)(Lihat, Fath al-Baari, 4/246). Kini orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus pada bulan Suro juga.

Walhasil, pada dasarnya di dalam Islam, 'Asyura tidak di isi dengan kesedihan dan penyiksaan diri, tidak di isi dengan pesta dan berhias diri dan juga tidak di isi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala' bahkan tidak di isi dengan berkumpul-kumpul.

Khatimah
Demikian pembahasan singkat yang dapat kami sampaikan. Semoga kita dapat memuliakan dan mengagungkan bulan Muharram tersebut sebagaimana Allah telah memuliakannya dengan cara mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan cara-cara yang tidak ada asal-usulnya dari syari’at sama sekali.

Dan akhirnya semoga pembahasan ini bermanfa’t bagi kita semua. Wallahu ‘alamu bish shawab.

Sumber Rujukan: Puasa Sunnah, Hukum dan Keutamaannya, cet. Darul Haq, hal. 41-58; Majalah as-Sunnah, 03/V/1421H-2001M dan Buletin an-Nur, edisi 231, tahun 1421 H.

Sumber Copas: Bulan Muharram, Antara Sunnah dan Bid'ah..!

0 komentar:

Posting Komentar