kembang api

Minggu, 18 November 2012

Kapan Puasa Asyura' (10 Muharram)?

Pertanyaan:

Bagaimana kita berpuasa Asyuro pada tahun ini? Jika kami tidak mengetahui apakah telah masuk bulan Muharram, atau apakah bulan Dzulhijjah 29 hari atau 30 hari? Bagaimana kita menentukan hari Asyuro dan berpuasa pada hari itu?

Jawaban:

Alhamdulillah, Jika kita tidak mengetahui, apakah bulan Dzulhijjah sempurna (30 hari) atau kurang (29 hari) dan tidak ada seorang pun yang memberitahu kita kapan terjadinya ru'yatul hilal (terlihatnya hilal), maka hendaknya kita berpatokan kepada perkara asal, yaitu bahwa bilangan bulan sebanyak 30 hari.

Maka kita anggap bulan Dzulhijjah terdiri dari 30 hari, lalu dengan perkiraan tersebut kita menetapkan hari Asyuro. Jika seorang muslim hendak berhati-hati dalam berpuasa Asyuro, sehingga dia dapat memastikan bahwa dirinya berpuasa pada hari itu, maka hendaknya dia berpuasa dua hari beruturut-turut. Hendaknya dia menghitung, kapan hari Asyuro jika perhitungan Dzulhijjah terdiri dari 29 hari dan jika bulan Dzulhijjah terdiri dari 30 hari, lalu dia berpuasa pada kedua hari tersebut. Maka dengan demikian dia pasti akan mendapatkan hari puasa.

Dengan cara seperti ini, dia dapat berpuasa tanggal sembilan dan sepuluh, atau tanggal sepuluh dan sebelas, keduanya baik. Dan jika dia ingin berhati-hati untuk berpuasa pada hari tasu'a (tanggal 9 Muharram), caranya begitu juga, berpuasalah dua hari yang telah disebutkan sebelumnya, ditambah satu hari langsung sebelumnya. Maka dengan demikian dia dapat berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11, atau dia dapat berpuasa pada tanggal 8, 9 dan 10. Dalam kedua cara ini dia dapat dipastikan mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10.

Adapun yang bertanya bahwa kondisi kerja saya membuat saya tidak dapat berpuasa kecuali satu hari saja, maka hari apa yang lebih utama baginya untuk berpuasa?

Jawab: Sempurnakan bilangan bulan Dzulhijjah sebanyak 30 hari, kemudian hitunglah hingga tanggal 10 Muharram, lalu berpuasalah. Inilah kesimpulan dari apa yang aku dengar dari Syekh Abdul-Aziz bin Abdullah bin Baz, rahimahullah, saat aku bertanya tentang masalah ini.

Jika telah sampai kepada kita, informasi dari seorang muslim yang terpercaya tentang penetapan bulan Muharram dengan ru'yatul hilal, maka hendaknya kita jadikan informasinya sebagai patokan dalam beramal. Berpuasa di bulan Muharram merupakan sunnah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam;

أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر الله المحرم


"Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadan, adalah bulan Allah; Muharram." (HR. Muslim/1163). [Oleh: Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid]

[Sumber: www.islamqa.com]

Jumat, 09 November 2012

Bulan Muharram, Antara Sunnah dan Bid'ah..!

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala, kami memuji-Nya, mohon pertolongan-Nya dan minta ampunan-Nya, kamipun berlindung kepada-Nya dari kejelekan diri dan keburukan amal kami.

Barangsiapa yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan petunjuk kepadanya, niscaya tak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang telah Allah Subhaanahu wa Ta’ala sesatkan, niscaya tak akan ada seorangpun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.

Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya. Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Selanjutnya, pada dasarnya adanya pergantian malam dan siang, bulan serta tahun terdapat hikmah dan pelajaran yang agung bagi setiap orang yang mau berfikir. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya:
”Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. an-Nur: 44)

Oleh karenanya sudah merupakan keharusan bagi setiap muslim agar dia senantiasa interopeksi diri setiap saat dan setiap waktu sehingga dia tetap bisa istiqamah dan terjaga dalam beragama atas dasar pemahaman yang benar dan lurus dan tidak salah sangka terhadap dirinya dengan mengganggap telah berbuat sebaik-baiknya padahal tidak demikian. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya. “ (QS al-Kahfi: 104).

Demikian halnya, manakala datang tahun baru hijriyah, yaitu bulan al-Muharram, pada bulan ini kita telah berpisah dengan tahun sebelumnya dan akan menyambut tahun yang akan datang, tahun yang baru, maka apakah yang telah kita tinggalkan dari sekian amal perbuatan untuk tahun kemarin? Dan dengan apa kita akan menyambut tahun yang baru ini?? Apakah bulan ini memiliki keistimewaan dan keutamaan tersendiri? apakah ada amalan yang harus dilakukan oleh setiap muslim pada bulan tersebut sebagai upaya untuk menghidupkan as-Sunnah dan upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang mengajak kepada tujuan agama.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengajak kepada suatu petunjuk maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari pahala mereka.” (HR. Muslim)

Keutamaan Bulan Muharram
Pada asalnya hari dan bulan memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala, kecuali yang diistimewakan dari hari dan bulan selainnya berdarkan dalil baik dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dan termasuk bulan yang mulia di antara bulan-bulan yang ada adalah bulan Muharram. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. at-Taubah: 36)

Dan di dalam hadits yang shahih Rasulullah bersabda: “……….Di adalam satu tahun ada dua belas bulan dan di antaranya terdapat empat bulan yang mulia, tiga di antaranya berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari, no. 2958 dari Abu Bakrah).

Dari ayat dan hadits di atas telah menunjukkan kemuliaan bulan tersebut di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan menemaan Muharram merupakan penguat atas keutamaan yang terkandung di dalamnya.

Dan di antara keutamaan yang terkandung di bulan Muharram adalah sebagai berikut:
  • Dosa yang dilakukan pada bulan-bulan yang dimulyakan tersebut lebih dahsyat dari bulan-bulan selainnya. Dan begitu juga sebaliknya bahwa pahala amal shalih begitu besar dibandingkan bulan-bulan lainnya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Janganlah kalian mendzalimi diri-diri kalian di dalamnya -bulan-bulan tersebut-(QS. at-Taubah: 36)
    Berkata Ibnu Katsir: “Di bulan-bulan yang Allah tetapkan di dalam setahun kemudian Allah khususkan dari bulan-bulan tersebut empat bulan, yang Allah menjadikan sebagai bulan-bulan yang mulia dan mengagungkan kemulyaaannya, dan menetapkan perbuatan dosa di dalamnya sangat besar, begitu pula dengan amal shalih pahalanya begitu besar.”
  • Disunnahkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram, khususnya berpuasa pada tanggal 10 Muharram (puasa ‘Asyura).
    Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram.” (HR. Muslim) dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, “Puasa ‘Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).
    Ibnu Abbas berkata. “Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari yang lain kecuali hari ini, yaitu ‘Asyura.” (Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).
  • Pada hari 'Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa 'alaihis salam dan kaumnya dari kerajaan Fir'aun, sehingga nabi Musa berpuasa sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Ta'ala.Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas, dia berkata; "Ketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam datang di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari 'Asyura, kemudian beliau bertanya: "Hai apa ini?" mereka menjawab: "Ini adalah hari yang baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka berpuasalah nabi Musa 'alaihis salam". Beliau bersabda: "Aku lebih berhak terhadap musa daripada kalian, kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan -para shahabat- agar berpuasa pada hari itu."

Amalan Yang Dianjurkan

Bertolak dari keutamaan yang terkandung di dalam bulan Muharram, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kaum Muslimin dalam menyambut bulan yang mulia ini.

Dan diantara amalan yang dianjurkan dalam bulan Muharram adalah sebagai berikut:
  • Tidak berbuat zhalim pada bulan ini, baik yang kecil maupun yang besar.
    Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “…maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu.”(QS. at-Taubah: 36)
    Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian terhadap kezhaliman, karena sesungguhnya kezhaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim dan lainnya)
    Dalam hadits yang lain beliau bersabda, “Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya dari pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kezhaliman) dan memutus silaturrahim.” (ash-Shahihah, no. 915)
  • Berpuasa ‘Asyura.
    Puasa pada hari 'Asyura sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum diutusnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah, "Sesungguhnya orang-orang jahiliyah dahulu berpuasa pada hari itu." al-Qurthubi berkata, "Kemungkinan kaum Quraisy menyandarkan amalan puasa mereka kepada syari'at orang-orang sebelum mereka, seperti syari'at Nabi Ibrahim.

    Demikian pula saat di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah, beliau Shallallohu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari tersebut. Dan ketika beliau hijrah ke Madinah dan mendapati orang-orang Yahudi merayakannya beliaupun bertanya kepada mereka tentang sebabnya, kemudian mereka menjawab sebagaimana yang tersebut di dalam hadits, "Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka berpuasalah Musa 'alaihis salam." (HR. al-Bukhari, no. 1865.

    Oleh karenanya beliau memerintahkan para sahabat untuk menyelisihi mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari, bahwa Nabi bersabda, ".......Berpuasalah kalian pada hari tersebut."(HR. al-Bukhari dan Muslim)

    Diperintahkannya puasa ‘Asyura karena didalamnya terkandung sekian keutamaan, sebagaimana yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram." (HR. Muslim, no. 1982)

    Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa beliau ditanya tentang puasa di hari 'Asyura, maka beliau menjawab, "Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin." (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Baihaqi dan Abdur Razaq)

    Imam an-Nawawiy berkata, “Puasa hari ‘Asyura dapat menghapuskan seluruh dosa-dosa kecil selain dosa-dosa besar dan sebagai kafarrah dosa satu tahun.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz. 6)
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dihapuskan dosa-dosa dengan thaharah, shalat, puasa di bulan Ramadhan, puasa hari ‘Arafah, dan puasa hari ‘Asyura, semuanya untuk dosa-dosa yang kecil.”(Lihat. Al-Fatawa al-Kubra, juz. 5)
    Ibnu Abbas berkata, "Tidak pernah aku melihat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam begitu bersemangat perpuasa di hari yang beliau utamakan dibandingkan hari yang lain kecuali hari ini, yakni hari 'Asyura, dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan." (HR. al-Bukhari, no. 1867)
  • Disukai puasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan Tasu’a (9 Muharram) untuk menyelisi orang-orang Yahudi dan Nashrani.
    Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka Rasulullah bersabda, “Maka apabila datang tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari ke sembilan.” Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah datang tahun berikutnya sampai Rasulullah wafat.”(HR. Muslim, no. 1916)

Berkaitan dengan puasa 'Asyura secara khusus, maka ada beberapa cara dalam pelaksanaannya, di antaranya:

1. Berpuasa selama tiga hari, 9, 10 dan 11 Muharram.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan sehari setelahnya."
Ibnu Hajar di dalam Fath al-Baari, 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut adalah Imam asy-Syaukani (Nail al-Authar, 4/245)

Namun maryolitas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni dari pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Maryolitas hadits menunjukkan cara seperti ini, sebagaimana yang telah tersampaikan di atas.

3. Berpuasa dua hari, yaitu pada tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum atau sehari setelahnya." (Hadits shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma'tsurah, asy-Syafi'i, no. 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar, 1/218).

Ibnu Rajab berkata, "Dalam sebagian riwayat disebutkan "atau sesudahnya", maka kata "atau" di sini mungkin merupakan keraguan rawi atau memang menunjukkan kebolehan..."(Lihat, Lathaiful Ma'arif, hal. 49)

ar-Rafi' berkata, "Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram." (Lihat, at-Talhish al-Habir, 2/213)

4. Berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja.
al-Hafidz berkata, " Puasa 'Asyura mempunyai tiga tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan di atasnya ditambah puasa tanggal 9 dan tingkatan berikutnya ditambah puasa tanggal 9 dan 11 Muharram. Wallahu a'lam.

Perkara Yang menyelisihi as-Sunnah

Adapun amalan-amalan yang menyelisihi as-Sunnah dan banyak dilakukan oleh kaum Muslimin dalam rangka menghormati dan memuliayakan bulan Muharram sangatlah banyak dan beragam. Dan berikut akan kami sebutkan dengan maksud kita dapat berhati-hati sehingga tidak terjerumus kepada amalan ibadah yang sia-sia dikarenakan tidak didasarkan kepada dalil yang kuat dan contoh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat beliau.

A. 'Asyura Menurut Syi'ah
Tanggal 10 Muharram 61 H, adalah hari terbunuhnya Abu Abdillah al-Husain bin Ali di padang Karbala.

Syi'ah menjadikan hari 'Asyura sebagai hari bergabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan kesedihan dan penyesalan. Pada hari itu mereka memperingati kematian al-Husen dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi al-Husen secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. (at-Tasyayyu' wasy Syi'ah, Ahmad al-Kisrawiy asy-Syi'iy, hal. 141. Tahqiq Dr. Nasyir al-Qifariy)

B. 'Asyura Menurut Maryolitas Kaum Muslimin.
Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, kebanyakan kaum Muslimin menjadikan hari 'Asyura sebagai hari raya, pesta dan serba ria.

Dan di antara amalan-amalan yang menyelisihi sunnah yang dilakukan oleh mereka adalah:
  • Shalat dan dzikir-dzikir khusus, yang disebut dengan shalat ‘Asyura.Mereka beralasan dengan hadits palsu, seperti yang disebutkan oleh as-Suyuthi di dalam al-La'ali al-Mashnu'ah. (as-Sunan wal Mubtada'at, hal. 134)
  • Mandi Janabah, bercelak, memakai minyak rambut dan mewarnai kuku dan menyemir rambut. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.Mereka beralasan dengan hadits palsu, "Barangsiapa yang memakai celak pada hari 'Asyura, maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu. Dan barangsiapa mandi pada hari 'Asyura, ia tidak akan sakit selama tahun itu." (Hadits ini palsu menurut as-Sakhawi, Mula Ali Qari dan al-Hakim, lihat al-Ibda', hal. 150-151)
  • Membuat makanan khusus/istimewa, seperti membuat bubur syura yang terdapat di Sumatera Barat.
  • Do’a awal dan akhir tahun yang di baca pada malam akhir tahun. Mereka beranggapan dan berkeyakinan bahwa siapa yang membaca do'a 'Asyura tidak akan meninggal pada tahun tersebut. (as-Sunan wal Mubtada'at, Muhammad asy-Syukairi, hal. 134)
  • Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.
  • Memberikan uang belanja yang lebih kepada keluarga. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.Mereka beralasan dengan hadits lemah, "Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari 'Asyura, maka Allah akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu." (HR. ath-Thabrani, al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Bar)
  • Setelah mandi janabat berziarah ke makam orang alim, menengok orang sakit, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali. Karena perbuatan tersebut di atas diperintahkan oleh syari’at setiap saat, dan adapun mengususkannya pada hari 10 Muharram tidak berdasar sama sekali.

C. 'Asyura Menurut Tradisi dan Kultur Kejawen
Bulan Suro menurut istilah mereka, banyak diwarnai orang Jawa dengan berbagai mitos dan khurafat, antara lain: Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh di buat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan, dan jenis hajatan yang lainnya.

Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh mereka di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi'ah animesme, dinamisme dan Arab Jahiliyah. Dulu, orang Quraisy Jahiliyah pada setiap 'Asyura selalu mengganti Kiswah Ka'bah (kain pembungkus Ka'bah)(Lihat, Fath al-Baari, 4/246). Kini orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus pada bulan Suro juga.

Walhasil, pada dasarnya di dalam Islam, 'Asyura tidak di isi dengan kesedihan dan penyiksaan diri, tidak di isi dengan pesta dan berhias diri dan juga tidak di isi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala' bahkan tidak di isi dengan berkumpul-kumpul.

Khatimah
Demikian pembahasan singkat yang dapat kami sampaikan. Semoga kita dapat memuliakan dan mengagungkan bulan Muharram tersebut sebagaimana Allah telah memuliakannya dengan cara mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan cara-cara yang tidak ada asal-usulnya dari syari’at sama sekali.

Dan akhirnya semoga pembahasan ini bermanfa’t bagi kita semua. Wallahu ‘alamu bish shawab.

Sumber Rujukan: Puasa Sunnah, Hukum dan Keutamaannya, cet. Darul Haq, hal. 41-58; Majalah as-Sunnah, 03/V/1421H-2001M dan Buletin an-Nur, edisi 231, tahun 1421 H.

Sumber Copas: Bulan Muharram, Antara Sunnah dan Bid'ah..!

Jumat, 02 November 2012

Tidak Ada Pertentangan Antara Turunnya Allah Ta'ala Ke Langit Dunia dan Bersemayam-Nya di Atas Arasy

Pertanyaan:

Ketika dilontarkan pertanyaan, 'Di mana Allah?' Maka jawabannya adalah, 'Di atas langit yang tujuh dan di atas Arasy.' Akan tetapi, jika kita mengambil hadits yang di dalamnya menunjukkan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sebagian akhir malam, maka jika ditanya, 'Di mana Allah?' lalu ketika itu (saat pertanyaan itu dilontarkan) dia menjawab, 'Di sepertiga malam terakhir.' Maka apa jawaban yang dia katakan. Perkara lain lagi adalah bahwa sebagian orang ada yang berkata bahwa sebagian malam terakhir itu pada hakekatnya terus berlangsung setiap waktu (di sebuah tempat di muka bumi dan pada waktu tertentu), karena itu mereka berkesimpulan bahwa Allah tidak berada di arasy-Nya.

Jawaban:

Alhamdulillah

Pertama, yang diwajibkan kepada kita adalah mengenal aqidah Ahlussunah wal Jama'ah dalam hal nama dan sifat-Nya. Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah adalah menetapkan apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam hal nama dan sifat, tanpa merubah, menggugurkan, menggambarkan bagaimananya dan menyerupakan.

Mereka meyakini apa yang telah Allah perintahkan untuk diyakini. Allah Ta'ala berfirman:

                                                            ليس كمثله شيء وهو السميع البصير

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat." (QS. Asy-Syura: 11)

Allah Ta'ala telah memberitahukan kepada kita tentang diri-Nya. Dia berfirman:

إِنَّ رَبَّكُمْ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
 (سورة الأعراف: 54)


"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Al-A'raf: 54)

Dia juga berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
 (سورة طه: 5)

" (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Thaha: 5)

Dan ayat lainnya yang di dalamnya disebutkan istiwa (bersemayam) -nya Allah Ta'ala di atas Arasy-Nya.

Istiwanya Allah Ta'ala di atas Arasynya adalah menunjukkan ketinggian dzatnya, yaitu ketinggian yang khusus sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak diketahui caranya selain Dia.

Terdapat riwayat dalam sunah yang shahih, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah Ta'ala turun dalam sepertiga malam terakhir.

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ رواه البخاري
( كتاب التوحيد/6940) ومسلم ( صلاة المسافرين/1262)


"Tuhan kita Tabaaraka wa Ta'ala turun pada setiap malam ke langit dunia saat sepertiga malam terakhir. Lalu dia berkata, 'Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan. Siapa yang memohon kepadaku, niscaya akan Aku berikan. Siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya akan aku ampuni." (HR. Bukhari, Kitab Tauhid, no. 6940, Muslim, Shalatul Musafirin, no. 1262)

'النزول' (turun) menurut Ahlussunnah artinya adalah, bahwa Allah Ta'ala turun dengan dzat-Nya ke langit dunia secara hakiki namun sesuai dengan kebesaran-Nya, dan tidak ada yang mengetahui caranya selain Dia.

Akan tetapi, apakah turunnya Allah Azza wa Jalla berarti dia harus meninggalkan Arasy-Nya atau tidak? Syekh Ibnu Utsaimin berkata terkait soal seperti itu, "Kami katakan bahwa soal seperti ini sebenarnya soal yang berlebih-lebihan dan tidak layak disampaikan. Karena kita dapat balik bertanya, 'Apakah anda lebih bersungguh-sungguh dari para shahabat dalam memahami sifat Allah?' Jika dia mengatakan, 'Ya', maka sungguh dia telah dusta. Jika dia katakan, 'Tidak' maka kita katakan, 'Bersikaplah lapang seperti mereka bersikap lapang, mereka tidak menanyakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, misalnya dengan berkata, 'Wahai Rasulullah, jika Dia turun, apakah berarti Dia meninggalkan Arasy-Nya?' Untuk apa anda bertanya seperti ini. Katakan saja 'Dia turun' lalu diam, apakah Dia meninggalkan Arasy-Nya atau tidak, itu bukan urusan anda. Anda hanya diperintahkan untuk membenarkan kabar yang disampaikan, khususnya yang berurusan dengan dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Karena ini adalah perkara di luar kemampuan akal."

(Majmu Fatawa Syekh Muhammad Al-Utsaimin, 1/204-205)

Syaikhul Islam (Ibnu Taimiah) rahimahullah berkata tentang masalah ini, "Yang benar adalah bahwa Dia turun dan tidak meninggalkan Arasy-Nya. Ruh seorang hamba di tubuhnya di waktu siang dan malam hingga dia mati, sementara kalau dia tidur, ruhnya diangkat.... hingga beliau berkata, 'Malam itu berbeda, sepertiga malam di negeri timur sebelum sepertiga malam di negeri barat, maka turunnya Dia sebagaimana dikabarkan oleh Rasulul-Nya ke langit mereka adalah pada sepertiga malam mereka, sedangkan pada langit mereka yang lainnya pada sepertiga malam mereka yang lainnya. Dia tidak terpengaruh oleh keadaan...." (Majmu Fatawa Ibnu Taimiah, 5/132)

Istiwa (bersemayam) dan nuzul (turun) merupakan sifat fi'liyah (kerja) yang terkait dengan kehendak Allah.

Ahlussunnah wal jamaah beriman dengan hal itu. Akan tetapi dalam mengimani ini mereka menghindari dari penyerupaan dan menyatakan caranya. Maksudnya tidak mungkin terbetik dalam jiwa mereka bahwa turunnya Allah seperti turunnya makhluk dan bersemayamnya Dia di Arasy seperti bersemayamnya makhluk. Karena mereka beriman bahwa Allah Ta'ala tidak serupa sedikitpun dengan makhluk dan Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat. Berdasarkan akal saja telah dapat diketahui perbedaan yang besar antara dzat, sifat dan perbuatan, tidak mungkin terbetik dalam hati mereka bagaimana Dia turun? Dan bagaimana dia bersemayam di atas Arasy? Maksudnya adalah bahwa Ahlussunnah tidak memperkirakan bagaimana sifat-sifat-Nya meskipun mereka yakin ada caranya dan hanya Allah Ta'ala saja yang mengetahuinya. Maka ketika itu, tidak mungkin digambarkan bagaimana caranya.

Kita mengetahui dengan yakin bahwa apa yang terdapat dalam Al-Quran dan sunah nabinya shallallahu alaihi wa sallam adalah hak dan tidak bertentangan satu sama lain, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

أفلا يتدبرون القرآن ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافاً كثيراً
 (سورة النساء: 82)


"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS. An-Nisa: 82)

Karena jika terjadi pertentangan dalam kabar yang disampaikan berarti kabar tersebut satu sama lain saling mendustakan. Ini mustahil bagi kabar yang disampaikan dari Allah dan rasul-Nya.

Siapa yang mengira adanya petentangan dalam Kitabullah dan sunah rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam atau di antara keduanya, apakah karena kurang ilmu, atau pemahaman terbatas atau kurang dalam pemahaman, maka hendaklah dia menuntut ilmu lagi dan bersungguh-sungguh mendalaminya agar jelas baginya kebenaran. Jika belum jelas baginya kebenaran, maka limpahkan masalah ini kepada orang yang pandai dan dia berhenti mengira-ngira, lalu selebihnya dia berkata seperti orang-orang yang telah mendalam ilmunya,

آمنا به كل من عند ربنا
 (سورة آل عمران: 7)

"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali Imran:7)

Hendaknya dia mengetahui bahwa Al-Quran dan Sunah tidak bertentangan di antara keduanya. Wallahu a'lam.

(Lihat, Fatawa Ibnu Utsaimin, 3/237-238)

Persangkaan adanya pertentangan antara turunnya Allah ke langit dunia dengan bersemayamnya Dia di Arasy dan ketinggiannya di langit bersumber dari adanya perbandingan antara khalik dan makhluk. Jika seorang manusia tidak dapat menggambarkan dengan akalnya perkara-perkara gaib di antara makhluk-Nya seperti kenikmatan surga, maka bagaimana dia dapat menggambarkan Sang Khalik Azza wa Jalla yang Maha Gaib. Maka cukup bagi kita beriman bahwa bersemayam, turun dan tinggi merupakan sifat Allah dan kita tetapkan sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.". [Oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid]

[Sumber: www.islamqa.com]