kembang api

Minggu, 18 November 2012

Kapan Puasa Asyura' (10 Muharram)?

Pertanyaan:

Bagaimana kita berpuasa Asyuro pada tahun ini? Jika kami tidak mengetahui apakah telah masuk bulan Muharram, atau apakah bulan Dzulhijjah 29 hari atau 30 hari? Bagaimana kita menentukan hari Asyuro dan berpuasa pada hari itu?

Jawaban:

Alhamdulillah, Jika kita tidak mengetahui, apakah bulan Dzulhijjah sempurna (30 hari) atau kurang (29 hari) dan tidak ada seorang pun yang memberitahu kita kapan terjadinya ru'yatul hilal (terlihatnya hilal), maka hendaknya kita berpatokan kepada perkara asal, yaitu bahwa bilangan bulan sebanyak 30 hari.

Maka kita anggap bulan Dzulhijjah terdiri dari 30 hari, lalu dengan perkiraan tersebut kita menetapkan hari Asyuro. Jika seorang muslim hendak berhati-hati dalam berpuasa Asyuro, sehingga dia dapat memastikan bahwa dirinya berpuasa pada hari itu, maka hendaknya dia berpuasa dua hari beruturut-turut. Hendaknya dia menghitung, kapan hari Asyuro jika perhitungan Dzulhijjah terdiri dari 29 hari dan jika bulan Dzulhijjah terdiri dari 30 hari, lalu dia berpuasa pada kedua hari tersebut. Maka dengan demikian dia pasti akan mendapatkan hari puasa.

Dengan cara seperti ini, dia dapat berpuasa tanggal sembilan dan sepuluh, atau tanggal sepuluh dan sebelas, keduanya baik. Dan jika dia ingin berhati-hati untuk berpuasa pada hari tasu'a (tanggal 9 Muharram), caranya begitu juga, berpuasalah dua hari yang telah disebutkan sebelumnya, ditambah satu hari langsung sebelumnya. Maka dengan demikian dia dapat berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11, atau dia dapat berpuasa pada tanggal 8, 9 dan 10. Dalam kedua cara ini dia dapat dipastikan mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10.

Adapun yang bertanya bahwa kondisi kerja saya membuat saya tidak dapat berpuasa kecuali satu hari saja, maka hari apa yang lebih utama baginya untuk berpuasa?

Jawab: Sempurnakan bilangan bulan Dzulhijjah sebanyak 30 hari, kemudian hitunglah hingga tanggal 10 Muharram, lalu berpuasalah. Inilah kesimpulan dari apa yang aku dengar dari Syekh Abdul-Aziz bin Abdullah bin Baz, rahimahullah, saat aku bertanya tentang masalah ini.

Jika telah sampai kepada kita, informasi dari seorang muslim yang terpercaya tentang penetapan bulan Muharram dengan ru'yatul hilal, maka hendaknya kita jadikan informasinya sebagai patokan dalam beramal. Berpuasa di bulan Muharram merupakan sunnah, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam;

أفضل الصيام بعد شهر رمضان شهر الله المحرم


"Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadan, adalah bulan Allah; Muharram." (HR. Muslim/1163). [Oleh: Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid]

[Sumber: www.islamqa.com]

Jumat, 09 November 2012

Bulan Muharram, Antara Sunnah dan Bid'ah..!

Pendahuluan

Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala, kami memuji-Nya, mohon pertolongan-Nya dan minta ampunan-Nya, kamipun berlindung kepada-Nya dari kejelekan diri dan keburukan amal kami.

Barangsiapa yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala berikan petunjuk kepadanya, niscaya tak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang telah Allah Subhaanahu wa Ta’ala sesatkan, niscaya tak akan ada seorangpun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.

Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya. Dan saya bersaksi bahwa tiada ilaah yang berhak untuk disembah melainkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala semata tiada sekutu bagi-Nya, dan saya berkasi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.

Selanjutnya, pada dasarnya adanya pergantian malam dan siang, bulan serta tahun terdapat hikmah dan pelajaran yang agung bagi setiap orang yang mau berfikir. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya:
”Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (QS. an-Nur: 44)

Oleh karenanya sudah merupakan keharusan bagi setiap muslim agar dia senantiasa interopeksi diri setiap saat dan setiap waktu sehingga dia tetap bisa istiqamah dan terjaga dalam beragama atas dasar pemahaman yang benar dan lurus dan tidak salah sangka terhadap dirinya dengan mengganggap telah berbuat sebaik-baiknya padahal tidak demikian. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya. “ (QS al-Kahfi: 104).

Demikian halnya, manakala datang tahun baru hijriyah, yaitu bulan al-Muharram, pada bulan ini kita telah berpisah dengan tahun sebelumnya dan akan menyambut tahun yang akan datang, tahun yang baru, maka apakah yang telah kita tinggalkan dari sekian amal perbuatan untuk tahun kemarin? Dan dengan apa kita akan menyambut tahun yang baru ini?? Apakah bulan ini memiliki keistimewaan dan keutamaan tersendiri? apakah ada amalan yang harus dilakukan oleh setiap muslim pada bulan tersebut sebagai upaya untuk menghidupkan as-Sunnah dan upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang mengajak kepada tujuan agama.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengajak kepada suatu petunjuk maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari pahala mereka.” (HR. Muslim)

Keutamaan Bulan Muharram
Pada asalnya hari dan bulan memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala, kecuali yang diistimewakan dari hari dan bulan selainnya berdarkan dalil baik dari al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dan termasuk bulan yang mulia di antara bulan-bulan yang ada adalah bulan Muharram. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (QS. at-Taubah: 36)

Dan di dalam hadits yang shahih Rasulullah bersabda: “……….Di adalam satu tahun ada dua belas bulan dan di antaranya terdapat empat bulan yang mulia, tiga di antaranya berturut-turut: Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari, no. 2958 dari Abu Bakrah).

Dari ayat dan hadits di atas telah menunjukkan kemuliaan bulan tersebut di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan menemaan Muharram merupakan penguat atas keutamaan yang terkandung di dalamnya.

Dan di antara keutamaan yang terkandung di bulan Muharram adalah sebagai berikut:
  • Dosa yang dilakukan pada bulan-bulan yang dimulyakan tersebut lebih dahsyat dari bulan-bulan selainnya. Dan begitu juga sebaliknya bahwa pahala amal shalih begitu besar dibandingkan bulan-bulan lainnya. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Janganlah kalian mendzalimi diri-diri kalian di dalamnya -bulan-bulan tersebut-(QS. at-Taubah: 36)
    Berkata Ibnu Katsir: “Di bulan-bulan yang Allah tetapkan di dalam setahun kemudian Allah khususkan dari bulan-bulan tersebut empat bulan, yang Allah menjadikan sebagai bulan-bulan yang mulia dan mengagungkan kemulyaaannya, dan menetapkan perbuatan dosa di dalamnya sangat besar, begitu pula dengan amal shalih pahalanya begitu besar.”
  • Disunnahkan memperbanyak puasa pada bulan Muharram, khususnya berpuasa pada tanggal 10 Muharram (puasa ‘Asyura).
    Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram.” (HR. Muslim) dan di dalam hadits yang lain beliau juga bersabda, “Puasa ‘Asyura menghapus kesalahan setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).
    Ibnu Abbas berkata. “Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari yang lain kecuali hari ini, yaitu ‘Asyura.” (Shahih at-Targhib wa at-Tarhib).
  • Pada hari 'Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa 'alaihis salam dan kaumnya dari kerajaan Fir'aun, sehingga nabi Musa berpuasa sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Ta'ala.Sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas, dia berkata; "Ketika Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam datang di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari 'Asyura, kemudian beliau bertanya: "Hai apa ini?" mereka menjawab: "Ini adalah hari yang baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka berpuasalah nabi Musa 'alaihis salam". Beliau bersabda: "Aku lebih berhak terhadap musa daripada kalian, kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan -para shahabat- agar berpuasa pada hari itu."

Amalan Yang Dianjurkan

Bertolak dari keutamaan yang terkandung di dalam bulan Muharram, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kaum Muslimin dalam menyambut bulan yang mulia ini.

Dan diantara amalan yang dianjurkan dalam bulan Muharram adalah sebagai berikut:
  • Tidak berbuat zhalim pada bulan ini, baik yang kecil maupun yang besar.
    Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “…maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang empat itu.”(QS. at-Taubah: 36)
    Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian terhadap kezhaliman, karena sesungguhnya kezhaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Muslim dan lainnya)
    Dalam hadits yang lain beliau bersabda, “Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan siksanya dari pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada melewati batas (kezhaliman) dan memutus silaturrahim.” (ash-Shahihah, no. 915)
  • Berpuasa ‘Asyura.
    Puasa pada hari 'Asyura sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum diutusnya Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah, "Sesungguhnya orang-orang jahiliyah dahulu berpuasa pada hari itu." al-Qurthubi berkata, "Kemungkinan kaum Quraisy menyandarkan amalan puasa mereka kepada syari'at orang-orang sebelum mereka, seperti syari'at Nabi Ibrahim.

    Demikian pula saat di Makkah, sebelum hijrah ke Madinah, beliau Shallallohu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari tersebut. Dan ketika beliau hijrah ke Madinah dan mendapati orang-orang Yahudi merayakannya beliaupun bertanya kepada mereka tentang sebabnya, kemudian mereka menjawab sebagaimana yang tersebut di dalam hadits, "Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka berpuasalah Musa 'alaihis salam." (HR. al-Bukhari, no. 1865.

    Oleh karenanya beliau memerintahkan para sahabat untuk menyelisihi mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari, bahwa Nabi bersabda, ".......Berpuasalah kalian pada hari tersebut."(HR. al-Bukhari dan Muslim)

    Diperintahkannya puasa ‘Asyura karena didalamnya terkandung sekian keutamaan, sebagaimana yang telah dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah al-Muharram." (HR. Muslim, no. 1982)

    Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa beliau ditanya tentang puasa di hari 'Asyura, maka beliau menjawab, "Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin." (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Baihaqi dan Abdur Razaq)

    Imam an-Nawawiy berkata, “Puasa hari ‘Asyura dapat menghapuskan seluruh dosa-dosa kecil selain dosa-dosa besar dan sebagai kafarrah dosa satu tahun.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz. 6)
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dihapuskan dosa-dosa dengan thaharah, shalat, puasa di bulan Ramadhan, puasa hari ‘Arafah, dan puasa hari ‘Asyura, semuanya untuk dosa-dosa yang kecil.”(Lihat. Al-Fatawa al-Kubra, juz. 5)
    Ibnu Abbas berkata, "Tidak pernah aku melihat Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam begitu bersemangat perpuasa di hari yang beliau utamakan dibandingkan hari yang lain kecuali hari ini, yakni hari 'Asyura, dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan." (HR. al-Bukhari, no. 1867)
  • Disukai puasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan Tasu’a (9 Muharram) untuk menyelisi orang-orang Yahudi dan Nashrani.
    Ibnu Abbas berkata, “Ketika Rasulullah berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka Rasulullah bersabda, “Maka apabila datang tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari ke sembilan.” Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah datang tahun berikutnya sampai Rasulullah wafat.”(HR. Muslim, no. 1916)

Berkaitan dengan puasa 'Asyura secara khusus, maka ada beberapa cara dalam pelaksanaannya, di antaranya:

1. Berpuasa selama tiga hari, 9, 10 dan 11 Muharram.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan sehari setelahnya."
Ibnu Hajar di dalam Fath al-Baari, 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut adalah Imam asy-Syaukani (Nail al-Authar, 4/245)

Namun maryolitas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni dari pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Maryolitas hadits menunjukkan cara seperti ini, sebagaimana yang telah tersampaikan di atas.

3. Berpuasa dua hari, yaitu pada tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas, "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum atau sehari setelahnya." (Hadits shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma'tsurah, asy-Syafi'i, no. 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar, 1/218).

Ibnu Rajab berkata, "Dalam sebagian riwayat disebutkan "atau sesudahnya", maka kata "atau" di sini mungkin merupakan keraguan rawi atau memang menunjukkan kebolehan..."(Lihat, Lathaiful Ma'arif, hal. 49)

ar-Rafi' berkata, "Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram." (Lihat, at-Talhish al-Habir, 2/213)

4. Berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja.
al-Hafidz berkata, " Puasa 'Asyura mempunyai tiga tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan di atasnya ditambah puasa tanggal 9 dan tingkatan berikutnya ditambah puasa tanggal 9 dan 11 Muharram. Wallahu a'lam.

Perkara Yang menyelisihi as-Sunnah

Adapun amalan-amalan yang menyelisihi as-Sunnah dan banyak dilakukan oleh kaum Muslimin dalam rangka menghormati dan memuliayakan bulan Muharram sangatlah banyak dan beragam. Dan berikut akan kami sebutkan dengan maksud kita dapat berhati-hati sehingga tidak terjerumus kepada amalan ibadah yang sia-sia dikarenakan tidak didasarkan kepada dalil yang kuat dan contoh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabat beliau.

A. 'Asyura Menurut Syi'ah
Tanggal 10 Muharram 61 H, adalah hari terbunuhnya Abu Abdillah al-Husain bin Ali di padang Karbala.

Syi'ah menjadikan hari 'Asyura sebagai hari bergabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan kesedihan dan penyesalan. Pada hari itu mereka memperingati kematian al-Husen dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi al-Husen secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. (at-Tasyayyu' wasy Syi'ah, Ahmad al-Kisrawiy asy-Syi'iy, hal. 141. Tahqiq Dr. Nasyir al-Qifariy)

B. 'Asyura Menurut Maryolitas Kaum Muslimin.
Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, kebanyakan kaum Muslimin menjadikan hari 'Asyura sebagai hari raya, pesta dan serba ria.

Dan di antara amalan-amalan yang menyelisihi sunnah yang dilakukan oleh mereka adalah:
  • Shalat dan dzikir-dzikir khusus, yang disebut dengan shalat ‘Asyura.Mereka beralasan dengan hadits palsu, seperti yang disebutkan oleh as-Suyuthi di dalam al-La'ali al-Mashnu'ah. (as-Sunan wal Mubtada'at, hal. 134)
  • Mandi Janabah, bercelak, memakai minyak rambut dan mewarnai kuku dan menyemir rambut. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.Mereka beralasan dengan hadits palsu, "Barangsiapa yang memakai celak pada hari 'Asyura, maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu. Dan barangsiapa mandi pada hari 'Asyura, ia tidak akan sakit selama tahun itu." (Hadits ini palsu menurut as-Sakhawi, Mula Ali Qari dan al-Hakim, lihat al-Ibda', hal. 150-151)
  • Membuat makanan khusus/istimewa, seperti membuat bubur syura yang terdapat di Sumatera Barat.
  • Do’a awal dan akhir tahun yang di baca pada malam akhir tahun. Mereka beranggapan dan berkeyakinan bahwa siapa yang membaca do'a 'Asyura tidak akan meninggal pada tahun tersebut. (as-Sunan wal Mubtada'at, Muhammad asy-Syukairi, hal. 134)
  • Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.
  • Memberikan uang belanja yang lebih kepada keluarga. Dan yang demikian jika si pelaku meyakini adanya keutamaan atau keistimewaan dilakukan pada hari tersebut.Mereka beralasan dengan hadits lemah, "Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari 'Asyura, maka Allah akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu." (HR. ath-Thabrani, al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Bar)
  • Setelah mandi janabat berziarah ke makam orang alim, menengok orang sakit, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali. Karena perbuatan tersebut di atas diperintahkan oleh syari’at setiap saat, dan adapun mengususkannya pada hari 10 Muharram tidak berdasar sama sekali.

C. 'Asyura Menurut Tradisi dan Kultur Kejawen
Bulan Suro menurut istilah mereka, banyak diwarnai orang Jawa dengan berbagai mitos dan khurafat, antara lain: Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh di buat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan, dan jenis hajatan yang lainnya.

Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh mereka di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi'ah animesme, dinamisme dan Arab Jahiliyah. Dulu, orang Quraisy Jahiliyah pada setiap 'Asyura selalu mengganti Kiswah Ka'bah (kain pembungkus Ka'bah)(Lihat, Fath al-Baari, 4/246). Kini orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus pada bulan Suro juga.

Walhasil, pada dasarnya di dalam Islam, 'Asyura tidak di isi dengan kesedihan dan penyiksaan diri, tidak di isi dengan pesta dan berhias diri dan juga tidak di isi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala' bahkan tidak di isi dengan berkumpul-kumpul.

Khatimah
Demikian pembahasan singkat yang dapat kami sampaikan. Semoga kita dapat memuliakan dan mengagungkan bulan Muharram tersebut sebagaimana Allah telah memuliakannya dengan cara mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan cara-cara yang tidak ada asal-usulnya dari syari’at sama sekali.

Dan akhirnya semoga pembahasan ini bermanfa’t bagi kita semua. Wallahu ‘alamu bish shawab.

Sumber Rujukan: Puasa Sunnah, Hukum dan Keutamaannya, cet. Darul Haq, hal. 41-58; Majalah as-Sunnah, 03/V/1421H-2001M dan Buletin an-Nur, edisi 231, tahun 1421 H.

Sumber Copas: Bulan Muharram, Antara Sunnah dan Bid'ah..!

Jumat, 02 November 2012

Tidak Ada Pertentangan Antara Turunnya Allah Ta'ala Ke Langit Dunia dan Bersemayam-Nya di Atas Arasy

Pertanyaan:

Ketika dilontarkan pertanyaan, 'Di mana Allah?' Maka jawabannya adalah, 'Di atas langit yang tujuh dan di atas Arasy.' Akan tetapi, jika kita mengambil hadits yang di dalamnya menunjukkan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sebagian akhir malam, maka jika ditanya, 'Di mana Allah?' lalu ketika itu (saat pertanyaan itu dilontarkan) dia menjawab, 'Di sepertiga malam terakhir.' Maka apa jawaban yang dia katakan. Perkara lain lagi adalah bahwa sebagian orang ada yang berkata bahwa sebagian malam terakhir itu pada hakekatnya terus berlangsung setiap waktu (di sebuah tempat di muka bumi dan pada waktu tertentu), karena itu mereka berkesimpulan bahwa Allah tidak berada di arasy-Nya.

Jawaban:

Alhamdulillah

Pertama, yang diwajibkan kepada kita adalah mengenal aqidah Ahlussunah wal Jama'ah dalam hal nama dan sifat-Nya. Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah adalah menetapkan apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam hal nama dan sifat, tanpa merubah, menggugurkan, menggambarkan bagaimananya dan menyerupakan.

Mereka meyakini apa yang telah Allah perintahkan untuk diyakini. Allah Ta'ala berfirman:

                                                            ليس كمثله شيء وهو السميع البصير

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat." (QS. Asy-Syura: 11)

Allah Ta'ala telah memberitahukan kepada kita tentang diri-Nya. Dia berfirman:

إِنَّ رَبَّكُمْ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
 (سورة الأعراف: 54)


"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Al-A'raf: 54)

Dia juga berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
 (سورة طه: 5)

" (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Thaha: 5)

Dan ayat lainnya yang di dalamnya disebutkan istiwa (bersemayam) -nya Allah Ta'ala di atas Arasy-Nya.

Istiwanya Allah Ta'ala di atas Arasynya adalah menunjukkan ketinggian dzatnya, yaitu ketinggian yang khusus sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak diketahui caranya selain Dia.

Terdapat riwayat dalam sunah yang shahih, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah Ta'ala turun dalam sepertiga malam terakhir.

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ رواه البخاري
( كتاب التوحيد/6940) ومسلم ( صلاة المسافرين/1262)


"Tuhan kita Tabaaraka wa Ta'ala turun pada setiap malam ke langit dunia saat sepertiga malam terakhir. Lalu dia berkata, 'Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan. Siapa yang memohon kepadaku, niscaya akan Aku berikan. Siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya akan aku ampuni." (HR. Bukhari, Kitab Tauhid, no. 6940, Muslim, Shalatul Musafirin, no. 1262)

'النزول' (turun) menurut Ahlussunnah artinya adalah, bahwa Allah Ta'ala turun dengan dzat-Nya ke langit dunia secara hakiki namun sesuai dengan kebesaran-Nya, dan tidak ada yang mengetahui caranya selain Dia.

Akan tetapi, apakah turunnya Allah Azza wa Jalla berarti dia harus meninggalkan Arasy-Nya atau tidak? Syekh Ibnu Utsaimin berkata terkait soal seperti itu, "Kami katakan bahwa soal seperti ini sebenarnya soal yang berlebih-lebihan dan tidak layak disampaikan. Karena kita dapat balik bertanya, 'Apakah anda lebih bersungguh-sungguh dari para shahabat dalam memahami sifat Allah?' Jika dia mengatakan, 'Ya', maka sungguh dia telah dusta. Jika dia katakan, 'Tidak' maka kita katakan, 'Bersikaplah lapang seperti mereka bersikap lapang, mereka tidak menanyakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, misalnya dengan berkata, 'Wahai Rasulullah, jika Dia turun, apakah berarti Dia meninggalkan Arasy-Nya?' Untuk apa anda bertanya seperti ini. Katakan saja 'Dia turun' lalu diam, apakah Dia meninggalkan Arasy-Nya atau tidak, itu bukan urusan anda. Anda hanya diperintahkan untuk membenarkan kabar yang disampaikan, khususnya yang berurusan dengan dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Karena ini adalah perkara di luar kemampuan akal."

(Majmu Fatawa Syekh Muhammad Al-Utsaimin, 1/204-205)

Syaikhul Islam (Ibnu Taimiah) rahimahullah berkata tentang masalah ini, "Yang benar adalah bahwa Dia turun dan tidak meninggalkan Arasy-Nya. Ruh seorang hamba di tubuhnya di waktu siang dan malam hingga dia mati, sementara kalau dia tidur, ruhnya diangkat.... hingga beliau berkata, 'Malam itu berbeda, sepertiga malam di negeri timur sebelum sepertiga malam di negeri barat, maka turunnya Dia sebagaimana dikabarkan oleh Rasulul-Nya ke langit mereka adalah pada sepertiga malam mereka, sedangkan pada langit mereka yang lainnya pada sepertiga malam mereka yang lainnya. Dia tidak terpengaruh oleh keadaan...." (Majmu Fatawa Ibnu Taimiah, 5/132)

Istiwa (bersemayam) dan nuzul (turun) merupakan sifat fi'liyah (kerja) yang terkait dengan kehendak Allah.

Ahlussunnah wal jamaah beriman dengan hal itu. Akan tetapi dalam mengimani ini mereka menghindari dari penyerupaan dan menyatakan caranya. Maksudnya tidak mungkin terbetik dalam jiwa mereka bahwa turunnya Allah seperti turunnya makhluk dan bersemayamnya Dia di Arasy seperti bersemayamnya makhluk. Karena mereka beriman bahwa Allah Ta'ala tidak serupa sedikitpun dengan makhluk dan Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat. Berdasarkan akal saja telah dapat diketahui perbedaan yang besar antara dzat, sifat dan perbuatan, tidak mungkin terbetik dalam hati mereka bagaimana Dia turun? Dan bagaimana dia bersemayam di atas Arasy? Maksudnya adalah bahwa Ahlussunnah tidak memperkirakan bagaimana sifat-sifat-Nya meskipun mereka yakin ada caranya dan hanya Allah Ta'ala saja yang mengetahuinya. Maka ketika itu, tidak mungkin digambarkan bagaimana caranya.

Kita mengetahui dengan yakin bahwa apa yang terdapat dalam Al-Quran dan sunah nabinya shallallahu alaihi wa sallam adalah hak dan tidak bertentangan satu sama lain, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

أفلا يتدبرون القرآن ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافاً كثيراً
 (سورة النساء: 82)


"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS. An-Nisa: 82)

Karena jika terjadi pertentangan dalam kabar yang disampaikan berarti kabar tersebut satu sama lain saling mendustakan. Ini mustahil bagi kabar yang disampaikan dari Allah dan rasul-Nya.

Siapa yang mengira adanya petentangan dalam Kitabullah dan sunah rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam atau di antara keduanya, apakah karena kurang ilmu, atau pemahaman terbatas atau kurang dalam pemahaman, maka hendaklah dia menuntut ilmu lagi dan bersungguh-sungguh mendalaminya agar jelas baginya kebenaran. Jika belum jelas baginya kebenaran, maka limpahkan masalah ini kepada orang yang pandai dan dia berhenti mengira-ngira, lalu selebihnya dia berkata seperti orang-orang yang telah mendalam ilmunya,

آمنا به كل من عند ربنا
 (سورة آل عمران: 7)

"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali Imran:7)

Hendaknya dia mengetahui bahwa Al-Quran dan Sunah tidak bertentangan di antara keduanya. Wallahu a'lam.

(Lihat, Fatawa Ibnu Utsaimin, 3/237-238)

Persangkaan adanya pertentangan antara turunnya Allah ke langit dunia dengan bersemayamnya Dia di Arasy dan ketinggiannya di langit bersumber dari adanya perbandingan antara khalik dan makhluk. Jika seorang manusia tidak dapat menggambarkan dengan akalnya perkara-perkara gaib di antara makhluk-Nya seperti kenikmatan surga, maka bagaimana dia dapat menggambarkan Sang Khalik Azza wa Jalla yang Maha Gaib. Maka cukup bagi kita beriman bahwa bersemayam, turun dan tinggi merupakan sifat Allah dan kita tetapkan sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya.". [Oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid]

[Sumber: www.islamqa.com]

Jumat, 26 Oktober 2012

Studi Kritis Seputar Puasa Hari Sabtu

Kedudukan Hadits

Dari Abdullah bin Busr dari saudaranya ash-Shamma` bahwa Nabi shallallohu 'alaihi wasallam bersabda,

لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا لِحَاءَ عِنَبَةٍ أَوْ عُوْدَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضَغْهُ.
"Janganlah kalian berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian. Bila seseorang darimu tidak mendapatkan kecuali kulit pohon anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah itu." [1]

Ulama berbeda pendapat tentang berpuasa sunnah pada Hari Sabtu. Imam Ahmad seperti yang dipahami al-Atsram dari perkataannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Al-Inshaf (3/347)] dan juga muridnya, Ibnul Qayyim serta ulama yang lain berpendapat boleh berpuasa secara khusus pada Hari Sabtu. Mereka memandang hadits yang melarangnya lemah.
Imam Malik mengatakan, "Ini adalah hadits yang dusta."
Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim mengatakan, "Hadits ini mungkin syadz (ganjil) atau hukumnya telah dibatalkan."

Mereka mendasarkan pendapatnya dengan beberapa hadits shahih yang lain yang membahas masalah ini. Di antaranya adalah:

1. Hadits riwayat Juwairiyah binti al-Harits yang menyatakan bahwa Nabi mendatanginya pada Hari Jum'at dan ketika itu ia sedang berpuasa. Lalu Nabi shallallohu 'alaihi wasallam bertanya kepadanya, "Apakah kamu berpuasa kemarin?" Dia menjawab, "Tidak." Nabi shallallohu 'alaihi wasallam bertanya lagi, "Apakah kamu akan berpuasa besok?" Dia menjawab, "Tidak." Lalu Nabi bersabda, ]]"Berbukalah!"

2. Hadits riwayat Abu Hurairah bahwa ia berkata,

لَا يَصُمْ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ.
"Janganlah seseorang darimu berpuasa pada Hari Jum'at kecuali jika ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya."

3. Hadits riwayat Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.
"Barangsiapa yang berpuasa pada Bulan Ramadhan lalu mengiringinya dengan puasa enam hari pada Bulan Syawal, maka seakan ia berpuasa sepanjang tahun."

4. Hadits riwayat Abu Qatadah bahwa Nabi pernah ditanya tentang puasa Hari Arafah lalu ia menjawab, "Puasa itu dapat menghapus dosa pada tahun yang lalu dan dosa pada tahun yang akan datang." Lalu Nabi ditanya tentang puasa Hari Asyura` dan beliau menjawab, "Puasa itu dapat menghapus dosa pada tahun yang lalu."

5. Hadits riwayat Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ عِنْدَ اللّهِ صَوْمُ دَاوُدَ j، كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.
"Puasa yang paling baik adalah puasa Nabi Dawud di mana ia berpuasa sehari dan berbuka sehari."

6. Hadits riwayat Jarir bin Abdillah bahwa Nabi bersabda,

صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ، أَيَّامُ الْبِيْضِ صَبِيْحَةُ ثَلَاثَ عَشْرَةَ، وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ، وَخَمْسَ عَشْرَةَ.
"Berpuasa tiga hari setiap bulan sama dengan berpuasa sepanjang tahun dan hari-hari putih itu adalah tanggal 13, 14 dan 15."
Berpuasa seperti dalam hadits-hadits ini pasti suatu saat bertepatan dengan Hari Sabtu.
Uraian Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (2/572),
Para sahabat kami dan para ulama berbeda pendapat tentang puasa Hari Sabtu. Abu Bakar al-Atsram berkata, "Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang berpuasa pada Hari Sabtu secara khusus," lalu beliau menjawab, "Mengenai berpuasa pada Hari Sabtu secara khusus terdapat hadits yang diriwayatkan ash-Shamma`, yakni hadits riwayat Tsaur dari Yazid dari Khalid bin Mi'dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya ash-Shamma` dari Nabi bahwa beliau bersabda,

لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
'Janganlah berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian'."
Abu Abdillah berkata, "Yahya bin Sa'id menghindari hadits ini dan ia enggan menceritakannya kepadaku." Ia mendengar dari Tsaur bahwa ia berkata, "Aku mendengar hadits ini dari Ashim..."
Selanjutnya al-Atsram mengatakan, "Argumentasi Abu Abdullah dalam membolehkan berpuasa pada Hari Sabtu adalah bahwa hadits-hadits yang ada seluruhnya berbeda dengan hadits Abdullah bin Busr." Di antaranya adalah:

1. Hadits Ummu Salamah bahwa ia pernah ditanya, "Pada hari apa sajakah Rasulullah sering berpuasa?" Ia menjawab, "Hari Sabtu dan Ahad." (Hadits lemah)

2. Hadits Juwairiyah bahwa Nabi berkata kepadanya pada Hari Jum'at, "Apakah kemarin kamu berpuasa?" Ia menjawab, "Tidak" Nabi bertanya lagi, "Apakah kamu akan berpuasa besok?" Besok adalah Hari Sabtu.

3. Hadits Abu Hurairah bahwa Nabi melarang berpuasa pada Hari Jum'at kecuali jika seseorang berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Hari setelahnya adalah Hari Sabtu.

4. Nabi berpuasa pada Bulan Sya'ban selama sebulan penuh dan tentu termasuk di dalamnya adalah Hari Sabtu.

5. Rasulullah juga memerintahkan berpuasa pada Bulan Muharram dan di dalamnya juga ada Hari Sabtu.

6. Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang berpuasa pada Bulan Ramadhan dan mengiringinya dengan puasa enam hari pada Bulan Syawal..." Dan ada kemungkinan Hari Sabtu termasuk di dalamnya.

7. Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam juga memerintahkan berpuasa pada hari-hari yang putih dan bisa saja Hari Sabtu masuk ke dalamnya. Contoh-contoh semacam ini sangatlah banyak.
Al-Atsram memahami dari ucapan Imam Ahmad bahwa ia ragu menerima hadits Ibnu Busr dan ia membolehkan berpuasa pada Hari Sabtu dengan menyebut hadits yang menjadi dasar untuk memakruhkannya. Kemudian al-Atsram menyebutkan bahwa Ahmad mengatakan dalam 'Ilal al-Hadits bahwa Yahya bin Sa'id menjauhi hadits Ibnu Busr dan enggan menceritakannya kepadanya. Ini menunjukkan bahwa ia (Ahmad) menilai hadits Ibnu Busr ini lemah.
Berdasarkan nash-nash yang mutawatir, al-Atsram berpendapat bahwa berpuasa pada Hari Sabtu dibolehkan. Dan larangan berpuasa tersebut tidak bisa dipahami sebagai bentuk pelarangan mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja (tanpa hari yang lain). Sebab redaksinya berbunyi,

لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
"Janganlah berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian."
Pengecualian di sini menunjukkan bahwa larangan ini bersifat umum, sehingga hadits ini menunjukkan keumuman larangan berpuasa pada Hari Jum'at dalam bentuk puasa apa pun. Sebab jika yang dimaksud adalah larangan mengkhususkan puasa pada Hari Jum'at saja, tentu berpuasa wajib tidak dapat dikecualikannya karena tidak ada unsur mengkhususkan pada puasa wajib. Jadi adanya pengecualian ini menunjukkan bahwa larangan ini mencakup puasa selain puasa wajib itu. Hal ini berbeda dengan puasa pada Hari Jum'at di mana Nabi menjelaskan bahwa pelarangannya adalah dalam rangka mengkhususkan puasa pada hari itu saja. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini mungkin syadz (ganjil) dan tidak shahih serta mungkin hukumnya telah dibatalkan. Inilah metode yang ditempuh ulama-ulama terdahulu yang termasuk murid-murid Imam Ahmad seperti al-Atsram dan Abu Dawud.
Abu Dawud berkata, "Hadits ini telah dibatalkan hukumnya." Abu Dawud juga menyebutkan dengan sanadnya dari Ibnu Syihab bahwa jika disebutkan kepada Ibnu Syihab larangan berpuasa pada Hari Sabtu, dia mengatakan, "Ini adalah hadits orang Himsha.'' Sedangkan al-Auza'i mengatakan, "Sebelumnya saya melihat hadits ini masih disembunyikan, hingga akhirnya ia tersebar luas." Maksudnya adalah hadits Ibnu Busr tentang puasa pada Hari Sabtu. Abu Dawud mengutip perkataan Malik yang mengatakan, "Hadits ini dusta." Oleh karena itu banyak para ulama yang tidak memakruhkannya.
Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat makruh mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu. Menurut mereka alasan pelarangan pada hadits tersebut adalah karena kaum Yahudi mengagungkan Hari Sabtu, namun jika berpuasa pada hari tersebut disatukan dengan puasa pada hari lainnya, atau berbarengan dengan puasa rutinnya maka tidak dimakruhkan.
Dalil mereka adalah:

1. Hadits Juwairiyah binti al-Harits bahwa Nabi mendatanginya pada Hari Jum'at dan saat itu ia sedang berpuasa, lalu Nabi bertanya, "Apakah engkau berpuasa kemarin?" Ia menjawab, "Tidak." Nabi bertanya lagi "Apakah kamu akan berpuasa besok?" Ia menjawab, "Tidak." Maka Nabi pun bersabda kepadanya, "Berbukalah."

2. Hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Kuraib budak Ibnu Abbas di mana ia mengatakan, "Ibnu Abbas dan beberapa sahabat Rasul shallallohu 'alaihi wasallam mengutusku kepada Ummu Salamah untuk menanyakan hari-hari apa saja yang paling banyak diisi Nabi dengan berpuasa" Ummu Salamah menjawab, "Hari Sabtu dan Ahad." Lalu aku kembali kepada mereka, dan ketika aku sampaikan kepada mereka, seakan mereka mengingkarinya. Mereka pun berangkat untuk menemui Ummu Salamah, lalu mereka berkata, "Kami mengutus orang ini kepadamu untuk menanyakan masalah ini, lalu ia mengatakan bahwa kamu mengatakan begini dan begitu." Ummu Salamah berkata, "Benar apa yang ia sampaikan, sesungguhnya hari-hari yang paling banyak diisi Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam dengan berpuasa adalah Hari Sabtu dan Ahad. Beliau pernah mengatakan, 'Keduanya adalah hari raya kaum musyrik dan karena itu aku ingin berbeda dengan mereka'." [2]

Mereka juga berargumentasi dengan dalil-dalil yang dipegang oleh kelompok pertama.
Pendapat Para Ulama
Pendapat al-Kasani dalam Bada`i' ash-Shana`i' (2/79),
Dimakruhkan berpuasa pada Hari Sabtu saja karena itu menyerupai kaum Yahudi.
Pendapat ath-Thahawi dalam Syarh Ma'ani al-Atsar (2/81),
Berpuasa Hari Sabtu dibolehkan menurut kami -wallahu a'lam- dan mengenai hadits ash-Shamma` itu, sesungguhnya tujuan larangan berpuasa itu adalah agar tidak mengagungkan Hari Sabtu, sehingga orang menahan diri dari makan, minum dan jima' pada hari itu seperti yang dilakukan kaum Yahudi. Namun jika orang berpuasa pada hari itu bukan untuk mengagungkannya dan tidak bermaksud meniru kaum Yahudi, maka hal itu tidak dimakruhkan.
Pendapat an-Nawawi dalam al-Majmu' (6/440),
Pendapat yang benar secara umum adalah apa yang telah kami kemukakan yang dikutip dari sahabat kami, yakni dimakruhkan berpuasa pada Hari Sabtu saja jika tidak bertepatan dengan puasa rutinnya berdasarkan hadits ash-Shamma`.
Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (4/428),
Para sahabat kami berpendapat makruh mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja... (Ia pun membawakan hadits ash-Shamma`). Selanjutnya Ibnu Qudamah mengatakan, "Al-Atsram mengutip pendapat Abu Abdillah (Ahmad) yang mengatakan, 'Adapun mengenai berpuasa pada Hari Sabtu secara khusus, maka dalam hal ini terdapat hadits yang diriwayatkan ash-Shamma`. Namun Yahya bin Sa'id menghindari hadits ini dan ia enggan menceritakannya kepadaku. Aku mendengarnya dari Abi Ashim'." Yang dimakruhkan adalah mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja. Sedangkan jika disertai dengan berpuasa pada hari yang lain, maka tidak dimakruhkan.
Pendapat at-Tirmidzi dalam al-Jami' setelah meriwayatkan hadits ash-Shamma`,
Makna pemakruhan dalam hadits ini adalah jika seseorang mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja. Sebab kaum Yahudi mengagungkan Hari Sabtu.
Pendapat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/303),
Hadits Juwairiyah binti al-Harits yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya menunjukkan bolehnya berpuasa pada Hari Sabtu. Maka seolah maksud pelarangan dalam hadits ini adalah mengkhususkan puasa pada Hari Sabtu saja untuk mengagungkannya. Wallahu a'lam.
Pendapat al-Azhim Abadi dalam Aun al-Ma'bud (7/67),
Ath-Thibi mengatakan, "Ulama mengemukakan bahwa larangan di sini adalah mengkhususkannya seperti larangan mengkhususkan puasa pada Hari Jum'at. Tujuannya adalah agar berbeda dengan kaum Yahudi. Larangan ini bersifat makruh menurut mayoritas ulama. Kemudian yang dimaksud dengan apa yang diwajibkan meliputi puasa wajib, puasa nadzar, puasa qadha dan puasa kaffarat. Termasuk yang semakna dengannya adalah puasa sunnah mu`akkadah yang bertepatan dengan hari itu, seperti Hari Arafah, Hari Asyura` atau bertepatan dengan puasa rutin seseorang."
Ibnu al-Mulk menambahkan:
Termasuk puasa pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah atau bertepatan dengan puasa yang paling baik, yakni puasa Nabi Dawud. Yang terlarang di sini adalah memberikan perhatian yang besar terhadap Hari Sabtu sehingga seolah berpuasa pada hari itu wajib seperti yang dilakukan kaum Yahudi. Jika tujuannya demikian (memberikan perhatian yang besar terhadap Hari Sabtu hingga harus berpuasa pada hari itu), maka larangannya bersifat haram. Namun jika tidak bertujuan seperti itu, maka larangannya hanya bersifat makruh karena adanya unsur meniru kaum Yahudi.

Penulis buku al-Badr al-Munir mengkompromikan antara hadits-hadits yang ada. Ia mengatakan,
Larangan ini ditujukan kepada pengkhususan puasa pada Hari Jum'at saja. Sedangkan bolehnya berpuasa adalah jika digabungkan dengan puasa sebelumnya atau setelahnya. Ini didukung oleh izin Nabi shallallohu 'alaihi wasallam terhadap orang yang berpuasa pada Hari Jum'at agar ia berpuasa pula setelahnya. Upaya pengkompromian antara hadits-hadits selama itu bisa dilakukan lebih baik dari pada membatalkan hukum yang terdapat pada salah satunya.[Nail al-Authar (4/299)]

Kesimpulan

Pendapat yang kuat menurut saya -wallahu a'lam- adalah pendapat Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang membolehkan berpuasa pada Hari Sabtu walaupun dilakukan hari itu saja selama tidak bertujuan mengagungkannya. Sebab hadits-hadits yang melarang berpuasa tidak kuat untuk mengimbangi hadits-hadits yang shahih yang secara tegas membolehkannya. Di samping itu telah dibeberkan pendapat para ulama hadits yang menyatakan bahwa hadits ini mengandung 'illat.
Pendapat Syaikh Abu Abdullah Mushthafa bin al-Adawi setelah ia meriwayatkan hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits ini:

Masing-masing hadits secara sendiri dari semua hadits yang telah kami kemukakan ini lebih shahih dari pada hadits yang melarang berpuasa pada Hari Sabtu. Maka tidak seyogyanya dan walau bagaimana pun tidak layak menolak hadits-hadits ini dengan mendahulukan hadits yang berbunyi,

لَا تَصُوْمُوْا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيْمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
'Janganlah berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian.'
Kemudian bagaimana pun juga pandangan para ulama dalam masalah ini tidak dapat begitu saja diabaikan.
Akan tetapi semua hadits-hadits yang ada harus dikumpulkan lalu dipilah mana di antara hadits-hadits tersebut yang lebih shahih dan lebih kuat. Demikian juga perlunya meninjau pandangan para ulama, baik dalam hal penilaian mereka terhadap derajat hadits maupun dalam hal pemahaman mereka terhadap hukum yang terkandung di dalamnya. Adapun hanya melihat satu matan hadits saja dan satu sanad saja dengan mengabaikan selain itu akan menimbulkan pemahaman yang ganjil.
Jadi sangat aneh bila ada seorang yang tidak berpuasa pada Hari Asyura` sementara Kaum Muslimin semuanya berpuasa lantaran Hari Asyura` itu jatuh pada Hari Sabtu dan menurut dugaannya berpuasa pada Hari Sabtu haram.
Juga sangat aneh bila ada seseorang yang bukan sedang melakukan ibadah haji tidak berpuasa pada Hari Arafah sementara semua orang di sekelilingnya berpuasa.
Bukankah orang seperti ini telah rugi, tidak mendapatkan pahala karena kekurangpahamannya dan sikapnya mengabaikan semua hadits? Bukankah sepatutnya ia menggabungkan semua hadits dan melihat pandangan para as-Salaf ash-Shalih serta mengkompromikannya dengan cara yang dapat diterima? Sungguh benar, itulah yang semestinya dilakukan sebagaimana sabda Nabi shallallohu 'alaihi wasallam,

مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ.
"Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan pada dirinya, maka Allah akan memahamkannya dalam Agama."

______________________

Footnote:

[1] Sanad hadits ini shahih (Banyak pendapat ulama yang menyatakan hadits ini mengandung 'illat) dan dikeluarkan oleh Abu Dawud, no. 2421; at-Tirmidzi, no. 744; an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2762, 2763, 2764); Ibnu Majah, no. 1726; Ahmad (6/368); ad-Darimi dalam as-Sunan (2/19); Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani, no. 3411; Ibnu Khuzaimah, no. 2163; ath-Thahawi dalam Syarh Ma'ani al-Atsar (2/80); ath-Thabrani dalam al-Kabir (24/no. 818, 819, 820, 821) dan dalam Musnad asy-Syamiyin, no. 434); al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/435); Tamam dalam al-Fawa`id, no. 653; Abu Nu'aim dalam Ma'rifat ash-Shahabah, no. 7727; al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/302); al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah (6/No. 1806); Ibnu al-Atsir dalam Usud al-Ghabah (7/174). Semuanya melalui jalur Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya ash-Shamma`.
Dari Tsaur dengan jalur periwayatan seperti diriwayatkan oleh Abu Ashim an-Nabil, Ashbagh bin Zaid, al-Auza'i, Qurrah bin Abdurrahman, al-Fadhl bin Musa, Sufyan bin Hubaib, al-Walid bin Muslim, Abdullah bin ash-Shabah.

Berbeda dengan mereka perawi-perawi berikut:
1. Abdullah bin Yazid al-Muqri
Dia meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari ibunya. Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani, no. 3413 dan Tamam dalam al-Fawa`id, no. 654.
2. Baqiyah bin Walid
Dia meriwayatkan dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari bibinya ash-Shamma` sebagaimana yang dikeluarkan an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2765)
3. Isa bin Yunus dan Utbah bin Sakan
Keduanya meriwayatkan dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari Nabi shallallohu 'alaihi wasallam. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2761); Ibnu Majah, no. 1726); Abdun bin Humaid dalam al-Muntakhab (2/No. 2761); Tamam dalam al-Fawa`id, no. 655; Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (5/218)

Saya katakan:
Riwayat para ahli hadits yang bersumber dari Tsaur dengan menyebut saudaranya itulah yang lebih utama untuk diterima.
Riwayat Tsaur berbeda dengan riwayat beberapa perawi hadits berikut:
1. Dawud bin Ubaidillah
Dia meriwayatkan dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari saudaranya ash-Sham'a dari Aisyah. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2771).

Saya katakan:
Riwayat ini tidak shahih karena Dawud bin Abdullah adalah perawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya) sebagaimana dikemukakan Ibnu Hajar.
2. Al-Fudhail bin Fudhalah
Riwayat yang bersumber darinya berbeda-beda. Ibnu Salim meriwayatkan dari az-Zubaidi dari Fudhail dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari ayahnya. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2768) dan ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir (2/no. 1191). Sedangkan Muhammad bin Harb meriwayatkan dari az-Zubaidi dari Fudhail dari Abdullah bin Busr dari saudaranya ash-Shamma` (dengan menggugurkan Khalid bin Ma'dan).
Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/no. 2767); Ibnu Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani, no. 3412; ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir (2/No. 822).

Saya katakan:
Riwayat ini juga lemah karena tidak dikenalnya Fudhail (majhul) dan hanya Ibnu Hibban yang menilainya tsiqah sesuai kaidah yang dipakainya, yakni menilai tsiqah perawi yang majhul. Sementara Ibnu Hajar dalam at-Taqrib mengomentarinya dengan maqbul (bisa diterima).
3. Luqman bin Amir
Riwayatnya berbeda-beda:
Isma'il bin Iyasy meriwayatkan dari az-Zubaidi dari Luqman bin Amir dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari saudaranya ash-Shamma`. Riwayat ini dikeluarkan oleh Ahmad (6/368-369) dan ath-Thabrani dalam Musnad asy-Syamiyin, no. 1591.
Sementara riwayat Baqiyah berbeda dengan riwayat Isma'il dan riwayat dari Baqiyah pun berbeda-beda: Sa'id bin Amr meriwayatkan dari Baqiyah dari az-Zubaidi dari Luqman bin Amir. Hanya saja dia menyebut "saudaranya ash-Shamma`. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/No. 2766)
Amr bin Utsman meriwayatkan dari Baqiyah dari az-Zubaidi dari Luqman bin Amir dari Amir bin Jusyaib dari Khalid dari Abdullah bin Busr dari Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/2766)
Sedangkan Yazid bin Abdu Rabbih meriwayatkan dari Baqiyah dari az-Zubaidi dari Amir bin Jusyaib seperti riwayat Amr bin Utsman di atas (dengan menggugurkan Luqman bin Amir).

Saya katakan:
Riwayat ini tidak lebih baik dari kedua riwayat sebelumnya. Karena Luqman bin Amir dalam penilaian Abu Hatim adalah perawi yang boleh ditulis haditsnya dan tidak ada kritikus hadits yang diakui yang menilainya tsiqah.

Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa riwayat yang kuat adalah riwayat yang bersumber melalui jalur Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya, ash-Shamma`. Karena Tsaur adalah perawi yang tsiqah dan dia hafal hadits yang bersumber dari Khalid bin Ma'dan. Al-Walid bin Muslim mengatakan, "Tsaur hafal hadits yang bersumber dari Khalid bin Ma'dan. Perawi-perawi yang riwayatnya berbeda dengannya tidak perlu dihiraukan karena mereka perawi yang tidak dikenal atau lemah. Wallahu a'lam."

Riwayat Khalid bin Ma'dan berbeda dengan riwayat perawi-perawi berikut:
1. Ibnu Abdullah bin Busr
Riwayatnya dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/2760); Ibnu Khuzaimah, no. 2164); ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir (24/ 2760); al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/302); Abu Nu'aim dalam Ma'rifat ash-Shahabat, no. 7725 melalui jalan Mu'awiyah bin Shalih dari Ibnu Abdullah bin Busr dari bapaknya dari bibinya ash-Shamma`. Sanad ini sangat lemah karena Ibnu Abdullah bin Busr menurut Ibnu Hajar dalam at-Taqrib tidak dikenal dan namanya juga tidak diketahui.
2. Hasan bin Nuh
Riwayatnya berbeda-beda:
Ali bin Iyasy dan Mubasysyir bin Isma'il meriwayatkan dari Hasan bin Nuh dari Abdullah bin Busr dari Nabi shallallohu 'alaihi wasallam. Riwayat ini dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam al-Mu'jam al-Kubra (2/2759); Ahmad (4/189); Ibnu Qani' dalam Mu'jam ash-Shahabat (2/81); Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no. 3615; ad-Daulabi dalam al-Kuna (2/118).
Sementara berbeda dengan mereka berdua, Abu al-Mughirah Abdul Quddus bin al-Hajjaj al-Khaulani yang meriwayatkan dari Hasan bin Nuh dari Abu Umamah.

Saya komentari:
Perbedaan riwayat itu menurut saya dari Hasan bin Nuh. Sebab dia perawi yang tidak dikenal dan hanya Ibnu Hibban serta al-'Ijli yang menilainya tsiqah. Jadi kekeliruan muncul darinya. Pandangan ini lebih baik daripada menilai wahm (memiliki kekeliruan) terhadap perawi-perawi tsiqah yang meriwayatkan darinya. Wallahu a'lam.
3. Yahya bin Hassan
Riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad (4/189) dan dari Ahmad riwayat ini dikeluarkan oleh al-Khatib dalam Tarikh Baghdad (6/24) melalui jalur Ibrahim bin Ishaq ath-Thaliqani dari al-Walid bin Muslim dari Yahya bin Hassan dari Abdullah bin Busr dari Nabi shallallohu 'alaihi wasallam.

Komentar saya:
Sanad hadits ini masih bisa diterima. Hanya yang dikhawatirkan adalah tadlis yang dilakukan al-Walid bin Muslim, di mana pada sanad ini ia menggunakan redaksi 'an'anah (dari si Fulan dari si Fulan).

Komentar saya lagi:
Riwayat ini tidak kuat untuk melawan riwayat Khalid bin Ma'dan karena seperti dijelaskan riwayat ini lemah.
Yahya bin Hisan memiliki jalur periwayatan lain dari Abu Umamah dari Nabi shallallohu 'alaihi wasallam sebagaimana yang dikeluarkan ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir (8/No. 7722) melalui jalan Isma'il bin Iyasy dari Abdullah bin Dinar dari Abu Umamah.

Komentar saya:
Sanad ini tidak shahih dan kelemahan terletak pada Abdullah bin Dinar, seorang Bahrani Himsha.
Ibnu Ma'in mengatakan, "Ia seorang warga Syam yang lemah."
Abu Hatim mengatakan, "Dia seorang syaikh yang tidak kuat."
Ad-Daruquthni mengatakan, "Dia perawi yang tidak diperhitungkan."
Al-Azdi berkata, "Haditsnya tidak sama dengan hadits kebanyakan perawi dan mayoritas ulama menilainya lemah kecuali penilaian yang ganjil dari Abi Ali al-Hafizh, di mana ia mengatakan, "Dia menurut saya perawi yang tsiqah" Namun yang dipegang adalah pendapat jumhur (Mayoritas ulama).

Saya katakan:
Riwayat Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya ash-Shamma` itulah riwayat yang kuat sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Dan inilah pendapat yang dikuatkan ad-Daruquthni 5, di mana dalam al-'Ilal (juz V ha. II bagian 86 B) setelah membawakan semua jalur periwayatan hadits ini ia mengatakan, "Riwayat yang shahih adalah riwayat yang bersumber dari Ibnu Busr dari saudara perempuannya."
Hadits ini sanadnya shahih karena semua perawinya tsiqah. Akan tetapi banyak ulama yang menilai bahwa hadits ini ma'lul (mengandung 'illat), meskipun secara lahir shahih. Berikut pendapat mereka:
1. Imam Malik
Abu Dawud mengatakan dalam as-Sunan (2/807), bahwa Malik mengatakan, "Hadits ini dusta."
2. Imam az-Zuhri
Abu Dawud, no. 2423 dan al-Hakim (1/436) meriwayatkan melalui jalur Ibnu Wahab bahwa ia berkata, "Aku mendengar al-Laits meriwayatkan dari Ibnu Syihab az-Zuhri bahwa jika disebutkan di dekatnya hadits yang melarang berpuasa pada Hari Sabtu, ia (Ibnu Syihab) mengatakan, 'Ini hadits orang Himsha'."
Ath-Thahawi berkata, "Az-Zuhri tidak menganggap hadits ini hadits yang bisa diriwayatkan dan dia menilainya hadits lemah."
3. Imam al-Auza'i
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 2424 dan dari jalurnya dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/302-303) melalui jalan al-Walid bin Muslim dari al-Auza'i bahwa ia berkata, "Saya masih melihat haditsnya tertutup debu (belum tersiar) hingga akhirnya saya melihatnya tersiar, yakni hadits Abdullah bin Busr tentang puasa Hari Sabtu."
4. Yahya bin Sa'id al-Qahthan
Ibnul Qayyim mengatakan dalam Mukhtashar as-Sunan (3/298), "Abu Abdillah -Ahmad bin Hanbal- mengatakan, 'Yahya bin Sa'id menjauhi hadits ini (hadits berpuasa Hari Sabtu) dan ia tidak mau menceritakannya kepadaku. Ia mendengar hadits ini dari Tsaur yang mengatakan, "Saya mendengarnya dari Abi Ashim."
Ibnul Qayyim mengatakan, "Ungkapan seperti ini merupakan penilaian terhadap lemahnya hadits ini."
5. Imam Ahmad
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (2/574) bahwa al-Atsram mengatakan, "Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang berpuasa secara khusus pada Hari Sabtu. Lalu ia menjawab, "Adapun mengenai berpuasa secara khusus pada Hari Sabtu terdapat dalam hadits ash-Shamma`, yakni yang diriwayatkan oleh Tsaur bin Zaid dari Khalid bin Ma'dan dari Abdullah bin Busr dari saudara perempuannya, ash-Shamma` dari Nabi shallallohu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Janganlah berpuasa pada Hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian."
Abu Abdullah mengatakan, "Yahya bin Sa'id menjauhi hadits ini dan ia enggan menceritakannya kepadaku. Ia mendengarnya dari Tsaur yang mengatakan, "Aku mendengarnya dari Ashim."
Al-Atsram berkata, "Dasar yang dipegang Abu Abdullah dalam membolehkan berpuasa pada hari Sabtu adalah karena hadits-hadits yang ada semuanya berbeda dengan hadits Abdullah bin Busr." (Beliau menyebutkan hadits tentang berpuasa sepanjang masa, berpuasa pada bulan Sya'ban dan hari Jum'at setelahnya, hadits-hadits tentang mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari bulan Syawwal dan hadits tentang berpuasa pada hari yang putih."
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan, "Al-Atsram memahami dari ucapan Imam Ahmad bahwa ia ragu untuk menerima hadits Ibnu Busr dan Ahmad membolehkan berpuasa pada Hari Sabtu tersebut, di mana ia menyebutkan hadits yang dijadikan dasar untuk memakruhkannya. Kemudian Al-Atsram menuturkan bahwa Imam Ahmad mengatakan dalam 'Ilal al-Hadits, 'Yahya bin Sa'id menjauhi hadits ini dan ia enggan menceritakannya kepadaku.' Ini adalah bentuk penilaian terhadap kelemahan sebuah hadits."
6. Abu Dawud
Setelah meriwayatkan hadits Ibnu Busr ia mengatakan, "Hadits ini telah dibatalkan hukumnya." (Selanjutnya ia menyebutkan pendapat para ulama yang menilai hadits ini mengandung 'illat).
7. An-Nasa`i
Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Talkhish (2/216) bahwa an-Nasa`i berkata, "Hadits ini mudhtharib (kacau)."

Komentar saya:
Penilaian bahwa hadits ini mudhtharib tidak dapat diterima, karena jalur-jalur periwayatannya tidak sama dan telah dikemukakan sebelumnya riwayat yang kuat.
8. Al-Atsram
Pendapatnya sebelumnya telah dikemukakan.
9. Ath-Thahawi
Setelah ia menyebutkan hadits-hadits yang berbeda dengan hadits Ibnu Busr ath-Thahawi mengatakan dalam Syahr Ma'ani al-Atsar (2/80), "Riwayat-riwayat ini semuanya menunjukkan dibolehkannya berpuasa sunnah pada Hari Sabtu dan hadits-hadits ini lebih masyhur dan lebih jelas dari hadits ini yang ganjil yang berbeda dengan hadits-hadits di atas."
10. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Dalam bukunya Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (2/575) Ibnu Taimiyah mengatakan, "Hadits ini mungkin ganjil, tidak shahih dan mungkin juga hukumnya telah dibatalkan."
11. Ibnul Qayyim
Ibnul Qayyim dalam Muhktashar as-Sunan (3/298) mengatakan, "Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini tidak shahih serta ganjil."

Sementara itu sekelompok ulama yang lain menyatakan secara tegas bahwa hadits ini shahih. Mereka antara lain:
Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, an-Nawawi dan Ibnu as-Sakan.
An-Nawawi setelah menyebutkan pendapat Abu Dawud yang mengutip pernyataan Imam Ahmad bahwa hadits ini dusta mengatakan dalam al-Majmu' (6/439): Pendapat ini tidak dapat diterima karena para ahli hadits telah menilai bahwa hadits ini shahih. Misalnya al-Hakim Abu Abdillah yang mengatakan, "Hadits ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan al-Bukhari."

Komentar saya:
Siapa yang memperhatikan apa yang telah dipaparkan sebelumnya dapat melihat bahwa yang menilai hadits ini mengandung 'illat datang dari para ulama yang menggeluti bidang ini dan para pakar 'illal hadits, maka pendapat yang layak dipegang adalah pendapat mereka.

Al-Hakim berkata dalam Ma'rifat 'Ulum al-Hadits,hal. 112,
"Sebuah hadits dinilai mengandung 'illat dari beberapa sisi dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah jarh (sifat tidak kredibel seorang perawi yang membuat haditsnya ditolak). Sebab hadits perawi yang tidak kredibel telah dinyatakan gugur (ditolak). Sedangkan 'illat hadits kebanyakan terjadi pada hadits-hadits perawi yang tsiqah (kredibel) yang meriwayatkan sebuah hadits yang mengandung 'illat, lalu mereka tidak tahu adanya 'illat tersebut sehingga haditsnya dikatakan ma'lul (mengandung 'illat). Namun yang menjadi hujjah bagi kami adalah sifat hifzh (memiliki daya hafalan), pemahaman dan pengetahuan dan bukan yang lainnya. Ulama yang menilai hadits Ibnu Busr ini shahih nampaknya tidak terlepas dari sikap mereka yang longgar dalam menyatakan shahihnya sebuah hadits sebagaimana itu dimiliki oleh sebagian ulama hadits.
[2] Hadits ini lemah dan dikeluarkan oleh an-Nasa`i dalam as-Sunan al-Kubra (2/no. 2776); Ahmad (6/323-324); Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, no. 2167; Ibnu Hibban dalam Shahihnya, no. 3616. 3646; ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir (23/No. 616, 964); al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/436); al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (4/303). Semuanya melalui jalur Ibnul Mubarak dari Abdullah bin Muhammad bin Umar bin Ali dari bapaknya dari Kuraib.

Komentar saya:
Sanad hadits ini lemah.
Abdullah bin Muhammad bin Umar tidak dinilai tsiqah oleh ulama yang mu'tabar (penilaian dapat diterima).
Ibnu al-Madini mengatakan, "Dia perawi yang statusnya pertengahan." Ibnu Hajar dalam at-Taqrib mengatakan, "Dia perawi yang maqbul (bisa diterima haditsnya), yakni jika ada hadits yang mendukungnya, namun jika tidak, dia adalah perawi yang lemah. Bapaknya Muhammad bin Umar hanya dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban saja.

[Sumber: Disarikan dari kitab, Shiyamu ath-Tathauwu`, Syaikh Usamah Abdul Aziz; Edisi Indonesia, Puasa Sunnah, Hukum & Keutamaannya; Pent. Darul Haq Jakarta ]
Sumber Copas : Studi Kritis Seputar Puasa Hari Sabtu

Jumat, 29 April 2011

Bai Fang Li, Sosok Yang Sukar Ditemui Di Zaman Ini

 
Namanya BAI FANG LI. Pekerjaannya adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya. Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk beribadah. Dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam. Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak. Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, di ruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, di ruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel dan ada sebuah tempat minum dari kaleng. Dipojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Ceritanya dimulai saat hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan menggendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu. Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga. Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya….” jawab anak itu. “Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang Li. “Saya tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…” sahut anak itu. Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping. Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu yang tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak. Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah cuaca dingin atau dalam panas matahari yang sangat menyengat tubuh kurusnya.
 
“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri. Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.
  
Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan……” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis……..

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin. Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan ” Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa”.

Sabtu, 05 Maret 2011

Mengenal Lebih Dalam Tentang Layanan Paid To Click (PTC)

1. APA ITU PTC?

PTC ( Pay To Click ) adalah layanan website yang membayar setiap anggotanya apabila mengeklik Iklan.